Selasa, 01 Juli 2014

Dasar Kepercayaan Agama Hindu



“PANCA SRADHA”
Agama Hindu adalah agama yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, yang diturunkan ke dunia melalui Dewa Brahma sebagai Dewa Pencipta kepada para Maha Resi untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia di dunia.
Ada tiga kerangka dasar yang membentuk ajaran agama Hindu, ketiga kerangka tersebut sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara lain :
  1. Tattwa, yaitu pengetahuan tentang filsafat agama
  2. Susila, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, tata krama
  3. Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama
Di dalam ajaran Tattwa di dalamnya diajarkan tentang “Sradha“ atau kepercayaan. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima yang disebut “Panca Sradha“, yaitu terdiri dari:
1.    Brahman (Percaya akan adanya Hyang Widhi)
Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, dan pencipta semua yang ada. Kita percaya bahwa beliau ada, meresap di semua tempat dan mengatasi semuanya “ Wyapi Wyapaka Nirwikara “
Di dalam kitab Brahman Sutra dinyatakan “ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya Hyang Widhi adalah asal mula dari semua yang ada di alam semesta ini. Dari pengertian tersebut bahwa Hyang Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu alam semesta beserta isinya termasuk Dewa – dewa dan lain – lainnya berasal dan ada di dalam Hyang Widhi. Tidak ada sesuatu di luar diri beliau. Penciptaan dan peleburan adalah kekuasaan beliau.
Agama Hindu mengajarkan bahwa Hyang Widhi Esa adanya tidak ada duanya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa kitab Weda antara lain :
  • Dalam Chandogya Upanishad dinyatakan : “Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman” artinya Hyang Widhi hanya satu tak ada duanya dan maha sempurna
  • Dalam mantram Tri Sandhya tersebut kata-kata: “Eko Narayanad na Dwityo Sti Kscit“ artinya hanya satu Hyang Widhi dipanggil Narayana, sama sekali tidak ada duanya.
  • Dalam Kitab Suci Reg Weda disebutkan “Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti“ artinya Hyang Widhi itu hanya satu, tetapi para arif bijaksana menyebut dengan berbagai nama.
  • Dalam kekawin Sutasoma dinyatakan : “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa” artinya berbeda-beda tetapi satu, tak ada Hyang Widhi yang ke dua.
Dengan pernyataan-pernyataan di atas sangat jelas, umat Hindu bukan menganut Politheisme, melainkan mengakui dan percaya adanya satu Hyang Widhi. Hindu sangat lengkap, dan fleksibel. Tuhan dalam Hindu di insafi dalam 3 aspek utama, yaitu Brahman (Yang tidak terpikirkan), Paramaatma (Berada dimana-mana dan meresapi segalanya), dan Bhagavan (berwujud)
2.   Atman (Percaya akan adanya Sang Hyang Atma)
Atma berasal dari Hyang Widhi yang memberikan hidup kepada semua mahluk. Atma atau Sang Hyang Atma disebut pula Sang Hyang Urip. Manusia, hewan dan tumbuhan adalah mahluk hidup yang terjadi dari dua unsur yaitu badan dan atma. Badan adalah kebendaan yang terbentuk dari lima unsur kasar yaitu Panca Maha Butha. Di dalam badan melekat indria yang jumlahnya sepuluh (Dasa Indria). Atma adalah yang menghidupkan mahluk itu sendiri, sering juga disebut badan halus . atma yang menghidupkan badan manusia disebut “ Jiwatman “
Badan dengan atma ini bagaikan hubungan Kusir dengan Kereta. Kusir adalah atma, dan kereta adalah badan. Indria yang ada pada badan kita tidak akan ada fungsinya apabila tidak ada atma. Misalnya, mata tidak dapat digunakan untuk pengelihatan jika tidak dijiwai oleh atma. Telinga tidak dapat digunakan untuk pendengaran jika tidak dijiwai oleh atma.
Atma yang berasal dari Hyang Widhi mempunyai sifat “ Antarjyotih “ (bersinar tidak ada yang menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna). Dalm kitab Bhagadgita disebut sifat-sifat atma sebagai berikut :
1. Achodyhya artinya tak terlukai oleh senjata
2. Adahya artinya tak terbakar oleh api
3. Akledya artinya tak terkeringkan oleh angin
4. Acesyah artinya tak terbasah oleh air
5. Nitya artinya abadi, kekal
6. Sarwagatah artinya ada dimana-mana
7. Sthanu artinya tak berpindah-pindah
8. Acala artinya tak bergerak
9. Sanatana artinya selalu sama
10. Adyakta artinya tak terlahirkan
11. Achintya artinya tak terpikirkan
12. Awikara artinya tak berjenis kelamin
Jelaslah atma itu sifatnya sempurna. Tetapi pertemuan antara atma dengan badan yang kemudian menimbulkan ciptaan menyebabkan atma dalam keadaan “ Awidhya “. Awidhya artinya gelap lupa kepada kesadaran . Awidhya muncul karena pengaruh unsur panca maha butha yang mempunyai sifat duniawi. Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di dalam keadaan awidhya.
Dalam keadaan seperti ini kita hidup kedunia bertujuan untuk menghilangkan awidhya untuk meraih kesadaran yang sejati dengan cara melaksanakan Subha karma. Menyadari sifat atma yang serba sempurna dan penuh kesucian menimbulkan usaha untuk menghilangkan pengaruh awidhya tadi. Karena apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak, sedangkan atmanya tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa “Karma Wasana“ (bekas hasil perbuatan). Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus berbuat baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari ikatan duniawi. Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan Atma itu adalah tunggal adanya (Brahman Atman Aikyam)
3.   Karma (Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala)
Setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan memberikan hasil. Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau pahala, langsung maupun tidak langsung pahala itu pasti akan datang.
Kita percaya bahwa perbuatan yang baik atau Subha karma membawa hasil yang menyenangkan atau baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk atau Asubha karma akan membawa hasil yang duka atau tidak baik.
Perbuatan – perbuatan buruk atau Asubha karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka, dimana ia mengalami segala macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita, maka ia akan menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara (Neraka Syuta). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai kebahagiaan hidup akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan=perbuatan baik itu sudah habis dinikmati, kelak menjelma kembali ke dunia sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia mendapatkan pengetahuan yang utama.
Jika dilihat dari sudut waktu, Karma phala dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
  • Sancita karma phala
Adalah hasil dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang. Bila karma kita pada kehidupan yang terdahulu baik, maka kehidupan kita sekarang akan baik pula (senang, sejahtera, bahagia). Sebaliknya bila perbuatan kita terdahulu buruk maka kehidupan kita yang sekarang inipun akan buruk ( selalu menderita, susah, dan sengsara)
  • Prarabda karma phala
Adalah hasil dari perbuatan kita pada kehidupan sekarang ini tanpa ada sisanya, sewaktu masih hidup telah dapat memetik hasilnya, atas karma yang dibuat sekarang. Sekarang menanam kebijaksanaan dan kebajikan pada orang lain dan seketika itu atau beberapa waktu kemudian dalam hidupnya akan menerima pahala, berupa kebahagiaan. Sebaliknya sekarang berbuat dosa, maka dalm hidup ini dirasakan dan diterima hasilnya berupa penderitaan akibat dari dosa itu.
Prarabda karma phala dapat diartikan sebagai karma phala cepat.
  • Kriyamana karma phala
Adalah pahala dari perbuatan yang tidak dapat dinikmati langsung pada kehidupan saat berbuat. Tetapi, akibat dari perbuatan pada kehidupan sekarang akan dan di terima pada kehidupan yang akan datang, setelah orangnya mengalami proses kematian serta pahalanya pada kelahiran berikutnya. Apabila karma pada kehidupan yang sekarang baik maka pahala pada kehidupan berikutnya adalah hidup bahagia, dan apabila karma pada kehidupan sekarang buruk maka pahala yang kelak diterima berupa kesengsaraan.
Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Kita tidak dapat menghindari hasil perbuatan kita itu baik atau buruk. Maka kita selaku manusia yang dilengkapi dengan bekal kemampuan berpikir, patutlah sadar bahwa penderitaan dapat diatasi dengan memilih perbuatan baik. Manusia dapat berbuat atau menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
4.   Samsara (Percaya dengan adanya kehidupan kembali)
Samsara disebut juga Punarbhawa yang artinya lahir kembali ke dunia secara berulang-ulang. Kelahiran kembali ini terjadi karena adanya atma masih diliputi oleh keinginan dan kemauan yang berhubungan dengan keduniawian.
Kelahiran dan hidup ini sesungguhnya adalah sengsara, sebagai hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan atau karma di masa kelahiran yang lampau. Jangka pembebasan diri dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang lampau (atita) yang akan datang (nagata) dan sekarang (wartamana).
Pembebasan dari samsara berarti mencapai penyempurnaan atma dan mencapai moksa yang dapat dicapai di dunia ini juga. Pengalaman kehidupan samsara ini dialami oleh Dewi Amba dalam cerita Mahabharata yang lahir menjadi Sri Kandi.
Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan menimbulkan tindakan sebagai berikut :
  • Pitra Yadnya
Yaitu memberikan korban suci terhadap leluhur kita, karena kita percaya leluhur itu masih hidup di dunia ini yang lebih halus.
  • Pelaksanaan dana Punya (amal saleh), karena perbuatan ini membawa kebahagiaan setelah meninggal.
  • Berusaha menghindari semua perbuatan buruk karena jika tidak, akan membawa ke alam neraka atau menglami kehidupan yang lebih buruk lagi.
5.   Moksa (Percaya dengan adanya kebahagiaan rokhani)
Moksa berarti kebebasan. Kamoksan berarti kebebasan yaitu bebas dari pengaruh ikatan duniawi, bebas dari karma phala, bebas dari samsara, dan lenyap dalam kebahagiaan yang tiada tara. Karena telah lenyap dan tidak mengalami lagi hukum karma, samsara, maka alam kamoksam itu telah bebas dari urusan – urusan kehidupan duniawi, tidak mengalami kelahiran lagi ditandai oleh kebaktian yang suci dan berada pada alam Parama Siwa.
Alm moksa sesungguhnya bisa juga dicapai semasa masih kita hidup di dunia ini, keadaan bebas di alam kehidupam ini disebut Jiwan Mukti atau moksa semasa masih hidup.
Moksa sering juga diartikan berstunya kembali atma dengan Parama Atma di alam Parama Siwa. Dialam ini tiada kesengsaraan, yang ada hanya kebahagiaan yang sulit dirasakan dalam kehidupan di dunia ini ( Sukha tan pawali Duhka ).
Syarat utama untuk mencapai alam moksa ini ialah berbhakti pada dharma, berbhakti dengan pikiran suci. Kesucian pikiran adalah jalan utama untuk mendapatkan anugrah utama dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dibandingkan dengan besi yang bersih dari karatan, maka dengan mudah dapat ditarik oleh magnet. Tetapi besi itu kotor penuh dengan karatan maka sangat sukar dapat ditarik oleh magnet.
Moksa merupakan tujuan akhir yang harus diraih oleh setiap orang menurut ajaran agama Hindu. Tujuan tersebut dinyatakan dengan kalimat “ Mokharatam Jagadhita ya ca iti Dharma “.
Moksa sebagai tujuan akhir dapat dicapai melalui empat jalan yang disebut Catur Marga yang terdiri dari :
1. Bhakti Marga (jalan Bhakti)
2. Karma Marga (jalan Perbuatan)
3. Jnana Marga (Jalan Ilmu Pengetahuan)
4. Raja Marga (Jalan Yoga)








Apabila Trimala telah menguasai seluruh hidup manusia timbullah kegelapan (Awidya) mengakibatkan ia tidak mampu lagi melakukan pertimbangan budi, kegelapan yang mempengaruhi pandangan hidupnya. Sad Ripu adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Apabila tidak mampu menguasainya akan membawa bencana dan kehancuran total kehidupan manusia. Karena itu Sad Ripu patut dikendalikan dengan budi susila. Sad Ripu terdiri dari:
1.
Kama
hawa nafsu yang tidak terkendalikan
2.
Lobha
kelobaan (ketamakan), ingin selalu mendapatkan yang lebih.
3.
Krodha
kemarahan yang melampaui batas (tidak terkendalikan).
4.
Mada
kemabukan yang membawa kegelapan pikiran.
5.
Moha
kebingungan/ kurang mampu berkonsentrasi sehingga akibatnya individu tidak dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna.
6.
Matsarya
iri hati/ dengki yang menyebabkan permusuhan.


Kramaning Sembah
Sembahyang dilakukan umat untuk memuja Tuhan. Banyak macam sembahyang, ditinjau dari kapan dilakukannya, dengan cara apa, dengan sarana apa dan di mana serta dengan siapa melakukannya. Kemantapan hati dalam melakukan sembahyang, membantu komunikasi yang lancar dan pemuasan rohani yang tiada terhingga. Kemantapan hati itu hanya dapat kita peroleh apabila kita yakin bahwa cara sembahyang kita memang benar adanya, tahu makna yang terkandung dari setiap langkah dan cara.
Berikut ini adalah pedoman sembahyang yang telah ditetapkan oleh Mahasabha Parisada Hindu Dharma ke VI.
Persiapan sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan.
Termasuk dalam persiapan lahir pula ialah sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga dan dupa sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang adalah sebagai
berikut:
Urutan-urutan sembah
Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang dipimpin oleh Sulinggih atau seorang Pemangku adalah seperti berikut ini:







MEMUJA TUHAN

Description: http://www.babadbali.com/image/v_spacer2.gif


Setiap orang ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Ada yang mendekatkan diri dengan Karma Marga ada yang dengan Jnana Marga dan ada pula dengan Bhakti Marga. Bentuk pelaksanaan mendekatkan diri tersebut ialah dengan memuja Tuhan. Pemujaan itu ada yang dilaksanakan dalam bentuk material ada dalam bentuk kata-kata dan ada dalam bentuk pikiran.
Pemujaan dalam bentuk material ialah berupa persembahan banten yang memerlukan kerja phisik dalam mewujudkan sedangkan pemujaan dalam bentuk kata-kata berupa nyanyian-nyanyian pujaan dan dengan pikiran adalah dalam wujud meditasi.
Kenyataannya dalam pelaksanaan ketiga jenis bentuk pemujaan itu saling isi mengisi. Misalnya dalam sembahyang kita mempergunakan nyanyian pujaan, upakara dalam bentuk banten dan pemusatan pikiran.
Seperti kita pelajari dari Nasadya Sukta, Tuhan adalah impersonal, yaitu tiada berpribadi. Ia luput dari sifat-sifat sehingga Ia adalah bukan ini dan itu. Tetapi sepanjang nama dan sifat dilekatkan pada-Nya maka Ia personal, berpribadi. Demikianlah Varuna, Mitra, Indra dalam Veda, Brahma, Visnu, Siwa dalam Purana adalah Tuhan yang personal. Ia dipuja sebagai ista devata, dewata yang dimohon kehadirannya pada waktu pemujaNya memujaNya.
Dalam Bhagawadgita Sri Krsna menyatakan bahwa memuja Tuhan yang mutlak dan yang tanpa pribadi tidak mudah. Karena itu kita dapati pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang pemuja-Nya dengan penuh bakti dan memandang Ia sebagai tempat terakhir yang dituju.
Svetasvatara Upanisad VI. 17-19).
Sa tanmayo hyamrta isasamtho jnah sarvago bhuvanasyasya gopta. va ise asya jagato, nityameva nanyo hetur vidyata isanaya. yo brahmanam vidadhati purvam, yo wai vedamsca prahinoti tasmai, tam ha devamatma buddhiprikasam mumuksurvai saranam aham prapadye. Niskalam niskayam santam niravadyam niranjanam, amrtasya param setum dagdhendhanami vanalam
Dengan menjadi demikian, Ia tetap bersifat abadi, berada sebagai Penguasa, Maha tahu, hadir dimana-mana, penjaga dunia, Dialah yang kuasa atas seluruh dunia ini untuk selama-lamanya, sebab tiada suatu apapun yang lain yang dijumpai untuk menguasainya.
Untuk dapat memperoleh moksa, hamba berlindung kepada Dia yang diterangi oleh buddhinya sendiri, yang dahulu menciptakan Brahma dan yang menyerahkan Veda kepadanya.
Kepada Dia yang tanpa bagian-bagian, tanpa aktivitas. tenang, yang sulit didekati, tanpa noda, jembatan yang paling mulia ke arah keabadian seperti api dengan minyaknya terbakar.
Memuja Tuhan yang tidak berpribadi adalah di luar kemampuan seorang bhakta, namun memuja Tuhan yang hanya berpribadi saja tidak memuaskan rasa filosofisnya. Karena itulah orang akhirnya memuja Tuhan sebagai Tuhan yang Impersonal-personal dalam bentuk-bentuk pelaksanaan kehidupan kerohanian yang agak tinggi
(Bhagawadpta XI. 40)
Namah puras tad atha prstha taste mamo'stu te sarvata eva sarva, tnanta virya mitavikramastvam sarvam samapnosi tato'si sarvah
Hormat padaMu di depan, di belakang
Hormat padaMu pada semua sisi.
O Tuhan, Engkau adalah semua yang ada, tak terbatas dalam kekuatan, tak terbatas dalam keperkasaan. Engkau memenuhi segala. Karena itu Engkaulah segala itu
(Skandapurana).
Ekam brahmanvadvitiyam samastam satyam satyam netarancasti kincit,
Eko rudro na dvitiyo'vatasthe tasmad ekam tvam prapadye mahesam
Oh Tuhan.
Engkau adalah Brahman yang Esa tanpa kedua.
Engkau adalah segala sesuatu. Engkau adalah kebenaran yang tunggal dan sesungguhnya tiada suatupun selain Engkau.
Oh Tuhan pemusnah penderitaan, Engkau bersifat abadi, tiada suatupun di luarMu. Karena itu hamba berlindung pada-Mu, Tuhan Yang Maha Agung.
Umumnya dalam nyanyian pujaan terdapat unsur pujian, permohonan dan kadang-kadang pengakuan. Kita dapati unsur-unsur tersebut di atas dalam puja Trisandya. Bait ke 4 mengandung pengakuan, pada bait ke 5 dan 6 permohonan. Bait yang lain mengandung pujian.

PEDOMAN SEMBAHYANG

Description: http://www.babadbali.com/image/v_spacer2.gif


Persiapan sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan.
Demikian pula persiapan sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga dan dupa sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:

1. Asuci laksana
Pertama-tama orang membersihkan badan dengan mandi. Kebersihan badan dan kesejukan lahir mempengaruhi ketenangan hati

2. Pakaian
Pakaian waktu sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat atau longgar, warna yang menyolok hendaknya dihindari. Pakaian harus disesuaikan dengan dresta setempat, supaya tidak menarik perhatian orang. Maksudnya agar tidak mengganggu konsentrasi semua pihak yang sama-sama bersembahyang.

3. Bunga dan kawangen
Bunga dan kawangen adalah lambang kesucian, supaya diusahakan bunga yang segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kawangen dapat diganti dengan bunga.
4. Dupa
Apinya dupa adalah simbul Sang Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Sang Hyang Widhi. Setiap yadnya dan pemujaan tidak luput dari penggunaan api. Hendaknya dupa ditaruh sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan teman-teman kita di sekitar kita. Selesai persembahyangan sebaiknya dupa dipadamkan dan dibuang di tempat yang disediakan.

5. Tempat Duduk
Tempat duduk hendaknya diusahakan tempat duduk yang tidak mengganggu ketenangan untuk sembahyang. Arah duduk ialah menghadap pelinggih. Setelah persembahyangan selesai usahakan berdiri dengan rapi dan sopan sehingga tidak mengganggu orang yang masih duduk sembahyang. Jika mungkin agar mempergunakan alas duduk seperti tikar dan sebagainya

6. Sikap duduk
Sikap duduk dapat dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan serta tidak mengganggu ketenangan hati. Sikap duduk yang baik untuk pria ialah sikap padmasana yaitu sikap duduk bersila dan badan tegak lurus. Sikap duduk bagi wanita ialah sikap bajrasana yaitu sikap duduk bersimpuh dengan dua tumit kaki diduduki. Dengan sikap ini badan menjadi tegak lurus. Kedua sikap ini sangat baik untuk menenangkan pikiran.

7. Sikap tangan
Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang ialah cakup ing kara kalih yaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada ujung jari.

PEDOMAN SEMBAHYANG

Description: http://www.babadbali.com/image/v_spacer2.gif


Urut-urutan Sembahyang
Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang dipimpin oleh Sulinggih atau seorang Pemangku adalah seperti di bawah ini:

1. Sembah puyung (sembah dengan tangan kosong)
Mantram:
artinya:
Om atma tattvatma suddha mam svaha.
Om atma, atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.

2. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Sang Hyang Aditya
Mantram:
Artinya:
Om Aditisyaparamjyoti,
rakta teja namo'stute,
sveta pankaja madhyastha,
bhaskaraya namo'stute
Om, sinar surya yang maha hebat,
Engkau bersinar merah,
hormat padaMu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih,
Hormat padaMu pembuat sinar.
Sarana

3. Menyembah Tuhan sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan
Ista Dewata artinya Dewata yang diingini hadirnya pada waktu pemuja memuja-Nya. Ista Dewata adalah perwujudan Tuhan dalam berbagai-bagai wujud-Nya seperti Brahma, Visnu, Isvara, Saraswati, Gana, dan sebagainya. Karena itu mantramnya bermacam-macam sesuai dengan Dewata yang dipuja pada hari dan tempat itu. Misalnya pada hari Saraswati yang dipuja ialah Dewi Saraswati dengan Saraswati Stawa. Pada hari lain dipuja Dewata yang lain dengan stawa-stawa yang lain pula.
Pada persembahyangan umum seperti pada persembahyangan hari Purnama dan Tilem, Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Siwa yang berada dimana-mana. Stawanya sebagai berikut:
Mantra
Artinya:
Om nama deva adhisthannaya,
sarva vyapi vai sivaya,
padmasana ekapratisthaya,
ardhanaresvaryai namo namah
Om, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi,
kepada Siwa yang sesungguhnyalah berada dimana-mana,
kepada Dewa yang yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat,
kepada Adhanaresvari, hamba menghormat
Sarana

4. Menyembah Tuhan sebagai Pemberi Anugrah
Mantra
Artinya:
Om anugraha manohara,
devadattanugrahaka,
arcanam sarvapujanam
namah sarvanugrahaka.
Deva devi mahasiddhi,
yajnanga nirmalatmaka,
laksmi siddhisca dirghayuh,
nirvighna sukha vrddhisca
Om, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah,
anugerah pemberian dewa,
pujaan semua pujaan, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah.
Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud yadnya, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan
Sarana

5. Sembah puyung (Sembah dengan tangan kosong)
Mantram:
artinya:
Om deva suksma paramacintyaya nama svaha
Om, hormat pada Dewa yang tak terpikirkan, yang maha tinggi, yang gaib.

Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon
tirta dan bija.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar